PARADIGMA
INDONESIA BERSATU DAN MAJU
PERHUTANAN DAN PERKEBUNAN
COMMUNITY BASE
LEMBAGA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG, 2005
Intisari
Hutan merupakan potensi alam sebagai salah satu “common property resources” yang sangat berharga, mengingat beragam fungsi yang sangat vital bagi keberlanjutan kehidupan lokal, nasional maupun global. Penekanan pertumbuhan ekonomi selama PJP I, telah memacu pula semakin meningkatnya tekanan terhadap cadangan potensi hutan, termasuk kawasan hutan bakau
Penyusutan luas hutan dapat terjadi karena kebakaran hutan, penebangan yang tidak terencana secara cermat atau disebabkan karena pencurian (illegal loging) serta alih fungsi. Khususnya penyusutan luas hutan karena pencurian melalui penebangan liar. Hal tersebut menunjukkan indikasi bahwa secara umum masih terdapat kesenjangan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan.
Telah terjadi perubahan paradigma pengelolalaan hutan yaitu: menuju pegelolaan hutan secara berkelanjutan yang mana selama ini menempatkan pengelolaan hutan sebatas “forest timber management” menjadi “forest resource and total ecosystem management” sehingga hutan diharapkan dapat berfungsi sebagai ekologis, sosial budaya dan produksi/ekonomi secara terpadu.
Dalam rangka menuju pengelolaan hutan secara berkelanjutan di Indonesia maka perlu dipilih strategi untuk meningkatkan ketiga fungsi tersebut. Untuk meningkatkan fungsi ekologi hutan maka upaya yang dilakukan dititik beratkan pada kawasan daratan yang memiliki kelerengan lebih 45 % dan peka terhadap erosi. Sedangkan di kawasan perairan dalam hal ini adalah kawasan hutan mangrove maka dititik beratkan pada kawasan yang memiliki abrasi laut yang pada tingkat yang membahayakan serta pada kawasan muara sungai. Fungsi sosial budaya diupayakan untuk semakin melibatkan peran serta masyarakat, terutama masyarakat sekitar kawasan hutan . Disamping itu sebagai fungsi ekonomi diupayakan berfungsi sebagai penyangga keberlanjutan sistem produksi, konservasi dan pendaya manfaatan kekayaan yang terkandung di dalamnya serta untuk berbagai penggunaan secara terpadu.
Untuk mencapai hal seperti di atas maka diperlukan beberapa kegiatan yang meliputi penghutanan kembali, mempertahankan dan meningkatkan dukungan masyarakat lokal secara melembaga, menetapkan peraturan dan pelaksanaan hukum yang mendukung pengelolaan hutan secara lebih bertanggung jawab, pengelolaan produksi hutan secara berkelanjutan,serta dukungan sistem informasi dan pendataan yang akurat, komunikatif serta sederhana sehingga pengelolaan potensi hutan secara berkelanjutan dapat diujud -nyatakan.
Untuk mewujud-nyatakan harapan tersebut maka disusun prioritas program sebagai berikut:
A. Evaluasi, Perencanaan dan Pengembangan Program Rehabilitasi dan Reboisasi serta Perlindungan Hutan Secara Berkelanjutan.
B. Pemantapan dan Pembuatan Peraturan, Kelembagaan Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan Berbasis Partisipasi dan Kearifan Masyarakat Lokal.
C. Pengelolaan Hutan Produksi Secara Berkelanjutan
D. Penyusunan Sistem Informasi dan Pendataan Pengelolaan Potensi Hutan Secara Berkelanjutan.
E. Kawasan Industri Masyarakat Perhutanan (KIMHUT)
F. Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN)
1. Dasar Pemikiran
1.1. Latar Belakang
utan merupakan karunia Allah yang sangat berharga bagi hidup dan kehidupan di muka bumi ini. Hutan memiliki fungsi ganda baik yang bersifat ekologis, sosial, ekonomi maupun budaya. Untuk itu di dalam mengelola potensi hutan harus memperhatikan sinergi rajutan komponen-komponen baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun yang berada di luar kawasan hutan.
Rencana dan program kegiatan pembangunan hutan mulai mengalami pergeseran paradigma serta penyesuaian dalam hal kebijakan. Kebijakan yang semula dititik-beratkan pada pertumbuhan ekonomi yang cenderung ke arah eksploitatif, kini diarahkan pada 1) pelestarian fungsi-fungsi lingkungan hidup, 2) keuntungan ekonomi bergeser menjadi mengutamakan keuntungan sosial, 3) kelestarian produksi bergeser menjadi kelestarian lingkungan hidup, dan 4) produksi kayu bergeser menjadi mengutamakan produksi non kayu.
Pada umumnya penyusutan luas kawasan hutan produksi dapat diakibatkan karena pengelolaannya yang masih belum sepenuhnya memperhatikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, sedangkan penyusutan luas hutan lindung dan hutan konservasi karena maraknya pencurian dan penebangan liar terutama selama periode reformasi. Besarnya penyusutan hutan bakau lebih diakibatkan oleh alih fungsi menjadi tambak dan penebangan Fenomena ini tampaknya terjadi di Indonesia. Di lain fihak , mulai ada gejala semakin meningkatnya masyarakat pendaya-manfaatan potensi yang ada di dalam laut khususnya kawasan terumbu karang. Hal ini perlu dicermati untuk mendapat perlakuan perlindungan Untuk ini upaya rehabilitasi, reboisasi dan perlindungan hutan mendesak untuk dilakukan.
Seiring dengan menjelang digulirnya tata aturan globalisasi maka kehutanan juga mendapat suatu tantangan terutama di dalam menuju ke era ekolabelling untuk ini persyaratan untuk menghasilkan produk barang hijau berbahan dasar dari kawasan hutan perlu mendapat perhatian.
Untuk menuju pengelolaan hutan berdasarkan forest resource and total ecosystem management ( hutan dipandang sebagai kesatuan yang utuh dan integral dari suatu ekosistem), maka diperlukan pula tata aturan yang mengatur, baik yang bersifat pemantapan aturan yang sudah ada maupun pembuatan yang baru. Demikian pula halnya dengan kelembagaan terutama kelembagaan yang mendorong peran aktif masyarakat lokal agar manfaat produksi/ekonomi, ekologi dan sosial budaya dapat dirasakan keadilannya baik oleh masyarakat maupun negara dan yang tidak kalah pentingnya adalah tersedia informasi data yang akurat, komunikatif, dan transparan. Informasi ini baik yang menyangkut potensi hutan: biofisik, ekonomi dan sosial budaya maupun informasi yang menyangkut kebijakan lokal, nasional maupun global.
1.2. Rencana Strategi
Agenda 100 dalam bidang kehutanan-perkebunan ini adalah program aksi untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan pembangunan agar kualitas hidup manusia terus meningkat dan pembangunan tetap berlanjut. Untuk itu maka di dalam menyusun rencana strategi bidang kehutanan maka perlu menimba pengalaman tentang permasalahan yang dihadapi sehingga potensi hutan dapat dikelola secara berkelanjutan,
Di masa yang akan datang ekspor komoditi yang berasal dari kawasan hutan, terutama kayu (khususnya di Indonesia adalah kayu jati) harus memperhatikan standard yang ditetapkan di dalam ekolabel . Oleh karena itu jika hal ini tidak diperhatikan dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar karena produknya akan ditolak.
Dasar kosultasi untuk alokasi dan penggunaan potensi alam nasional tertuang di dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang diharapkan menjiwai setiap peraturan dan kebijakan alokasi dan penggunaan potensi alam, termasuk hutan. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengamanatkan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan kata lain siapa saja yang terlibat di dalam pengelolaan potensi alam termasuk hutan ini manusianya harus bertanggung jawab.
Sejalan dengan era reformasi, termasuk pula di dalam strategi pembangunan kehutanan juga mengalami reformasi paradigma, yang semula pembangunan kehutanan atas dasar hanya mementingkan produk kayu semata (“forest timber managemen”), berubah menjadi paradigma baru yaitu strategi balik arah (“turn over strategy”) yang meletakkan posisi potensi hutan sebagai amanah Allah dan potensi hutan sebagai ekosistem (Fattah,1999). Nasution (1999) menjelaskan bahwa paradigma pembangunan kehutanan era reformasi adalah pembangunan kehutanan yang dibangun atas dasar sistem etika pembangunan yang menjamin keberlanjutan sistem dan fungsi potensi hutan, menghargai keterkaitan dan saling ketergantungan antara potensi hutan, rakyat, dan komunitas yang melingkupinya, bersifat inklusif agar keragaman sistem potensi hutan tetap dapat dipertahankan, bersifat integratif dan partisipatif, serta berani menyuarakan kebenaran sistem nilai yang telah disepakati oleh para pendiri negara sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan dan pasal 33 UUD 1945.
Selanjutnya dikemukakan bahwa berdasarkan etika dan nilai tersebut diatas, terdapat lima tujuan kebijakan pembangunan kehutanan, yaitu:
1. Meningkatkan efisiensi alokasi dan penggunaan potensi hutan
2. Menjamin distribusi manfa’at alokasi dan penggunaan potensi hutan secara berkeadilan
3. Meningkatkan pemberdayaan dan kapasitas sosial dan ekonomi masyarakat
4. Mewujudkan kemampuan nasional dalam mengembangakan barang dan jasa kehutanan yang tidak saja kompetitif di tingkat korbanan potensi yang dilakukan
5. Menjamin keberlangsungan sistem potensi hutan
Jika berbagai kebijakan pembangunan kehutanan yang telah ada ternyata belum mampu mencermikan berbagai tujuan tersebut maka kebijakan-kebijakan yang ada tersebut perlu disempurnakan sesuai dengan visi dan misi serta tujuan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
Berdasarkan uraian-uraian diatas maka perlu dirumuskan pengelolaan hutan dengan menyeimbangkan tiga fungsi hutan, yaitu fungsi ekologi, sosial-budaya dan ekonomi dengan tetap berpegang teguh inti dasar pengelolaan hutan, yaitu kelestarian yang bermanfa’at dan kemanfa’atan yang lestari dengan prinsip dasar ”Progressive Sustained Yield Principle”, dan menggeser dari pandangan Forest for People menjadi Forest Within People.
Langkah-langkah menuju keseimbangan tersebut harus dipegang oleh para stakeholder yang arif bijaksana serta bertanggung jawab.
1.2.1. Visi
Pengelolaan potensi hutan untuk mensejahterakan masyarakat dengan tetap menempatkan fungsi social budaya, ekologi, dan ekonomi dalam proporsi yang seimbang.
1.2.2. Misi
1. Merealisasikan pembangunan hutan berbasis pada peran serta kearifan komunitas masyarakat (“community based forest development”)
2. Orientasi pada berbagai peran hasil hutan ( “multi purpose timber orientation”)
3. Meningkatkan peran hutan dengan segenap sumberdayanya selaku area keseimbangan ekosistem.
1.2.3. Tujuan
Berdasarkan paparan permasalahan dan arahan strategis maka Program Perhutanan – Perkebunan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Mengoptimalkan kawasan yang seharusnya dihutankan
2. Meningkatkan peran serta kearifan masyarakat lokal yang berpartisipasi aktif dalam kelembagaan untuk mendukung pengelolaan hutan dan kebun secara berkelanjutan
3. Memantapkan dan menyusun konsep aturan untuk menyeimbangkan ketiga fungsi hutan dan perolehan dari kawasan hutan antara untuk negara dan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat sekitar kawasan hutan
4. Memantapkan pengelolaan hutan produksi secara berkelanjutan
5. Memudahkan para fihak yang terkait untuk memperoleh informasi yang komunikatif, sederhana dan komprehensif untuk mendukung pengelolaan hutan secara berkelanjutan
2. Program-Program
Untuk mengujud-nyatakan tujuan tersebut maka disusun prioritas aksi tindak dalam pembangunan kehutanan di Indonesia yang meliputi beberapa bidang program sebagai berikut:
A. Evaluasi, Perencanaan dan Pengembangan Program Rehabilitasi dan Reboisasi serta Perlindungan Hutan Secara Berkelanjutan.
B. Pemantapan dan Pembuatan: Peraturan, Kelembagaan Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan Berbasis Partisipasi dan Kearifan Masyarakat Lokal.
C. Pengelolaan Hutan Produksi Secara Berkelanjutan
D. Penyusunan Sistem Informasi dan Pendataan Pengelolaan Potensi Hutan Secara Berkelanjutan.
E. Kawasan Industri Masyarakat Perhutanan (KIMHUT)
F. Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN)
2.1. Progam :
EVALUASI DAN PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN PROGRAM REHABILITASI DAN REBOISASI SERTA PERLINDUNGAN HUTAN SECARA BERKELANJUTAN
2.1.1. Dasar Pertimbangan
Di Indonesia terdapat gejala adanya gangguan fungsi hutan secara ekologis terutama di daerah hulu yang mengakibatkan munculnya bahaya banjir, laju erosi atau degradasi lahan meningkat, air sungai makin keruh dan mendangkalnya sungai serta waduk sehingga akhirnya dapat menganggu penyediaan air dan bahkan kekeringan. Permasalahan ini dapat diatasi dengan kegiatan rehabilitasi (di luar kawasan hutan), reboisasi ( di dalam kawasan hutan) dan upaya perlindungan hutan, Di lain fihak telah tampak adanya pemanfaatan potensi hutan yang berada di daerah laut, misalnya terumbu karang yang semakin meningkat, demikian pula halnya telah terjadi alih fungsi hutan mangrove menjadi industri tambak sehingga menimbulkan meningkatnya abrasi air laut dan gangguan kekayaan keanekaragaman hayatinya.
Fakta menunjukkan bahwa di Indonesia telah dilakukan upaya untuk rehabilitasi dan reboisasi dan perlindungan hutan. Di dalam pelaksanaannya ada yang berhasil dan ada pula yang masih perlu disempurnakan maka untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan maka perlu dikaji hasil pelaksanaan tersebut. Evaluasi ini penting agar menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan perencanaan kegiatan selanjutnya, yang berhasil dipertahankan dan yang belum perlu disempurnakan. Penyempurnaan yang dilakukan perlu memperhatikan keseimbangan fungsi hutan baik fungsi ekologi, sosial budaya maupun ekonomi. Untuk merealisasikannya perlu adanya peran serta masyarakat lokal terutama yang menyangkut ketiga kegiatan (rehabilitasi, reboisasi, dan perlindungan hutan) beserta perangkat teknis yang mendukung pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
2.1.2. Tujuan Program
1. Meningkatkan sumbangan fungsi hutan secara ekologi, ekonomi dan sosial-budaya dengan cara memantau adanya regenerasi alami pada daerah yang mengalami degradasi melalui kegiatan rehabilitasi, reboisasi dan perlindungan hutan.
2. Menginvetarisasi dan mengkaji serta menyusun konsep ketiga kegiatan tersebut untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan penyusunan rencana dan pengembangan ketiga kegiatan di masa mendatang
3. Meningkatkan kemampuan pengelola dalam bidang teknis dalam rangka rehabilitasi dan reboisasi serta perlindungan hutan secara berkelanjutan.
4. Meningkatkan potensi manusia untuk melaksanakan rehabilitasi dan reboisasi serta perlindungan hutan secara berkelanjutan
5. Mendorong pemanfa’atan hutan yang efisien dan berkelanjutan dengan lebih menitik beratkan produksi dan jasa hasil hutan non kayu
6. Meningkatkan peran serta masyarakat lokal di dalam program rehabilitasi dan reboisasi serta perlindungan hutan dengan memperoleh kontribusi perolehan secara adil
2.1.3. Rencana Strategis
Berpijak pada potensi, permasalahan, dan tantangan di masa depan maka rencana strategis pada Bidang Program Evaluasi, Perencanaan dan Pengembangan Program Rehabilitasi dan Reboisasi dan Perlindungan Hutan adalah sebagai berikut:
1. Melakukan evaluasi dan pengembangan baik dari aspek perencanaan pelaksaaan maupun teknis untuk reboisasi, rehabilitasi dan perlindungan hutan termasuk pengembangan IPTEK hasil hutan non kayu.
2. Optimalisasi kawasan yang dihutankan.
3. Meningkatkan peran aktif masyarakat lokal di dalam pelaksanaan rehabilitasi dan reboisasi serta perlindungan hutan agar fungsi hutan lebih optimal
4. Mengembangkan model-model, seperti pemberdayaan masyarakat dalam pengamanan hutan dan vegetasi lingkungan sekitar untuk mengembangkan alternatif produksi kayu rakyat dan menghilangkan faktor penyebab menurunnya luasan hutan produksi maupun hutan lindung dan konservasi yang ada saat ini.
2.1.4. Tahapan Kegiatan
1. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi dan reboisasi , perlindungan hutan serta merumuskan cara penyelesaian yang sesuai dengan profil existing condition di masing-masing kabupaten yang relevan di Indonesia
2. Mengembangkan sistem: informasi tentang kawasan yang perlu di rehabilitasi dan reboisasi, serta perlindungan hutan
3. Mengembangkan dan mensosialisasikan informasi cara dan hasil pemantauan, pengawasan dan penegakan aturan bagi pelaksana yang terlibat di dalam ketiga kegiatan itu dalam rangka menunjang pengelolaan hutan secara berkelanjutan
4. Mengembangkan program-program rintisan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan masyarakat lokal yang menunjang tiga kegiatan tersebut , misalnya: Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Pengembangan Masyarakat Kawasan Hutan (PMKH), Koperasi Perhutani, Kawasan Usaha Kecil dan Menengah Masyarakat sekitar Hutan
5. Merumuskan pemilihan koditi yang akan dikembangkan dan mengembangkan teknik-teknik tanam kembali dengan teknik budidaya yang tepat guna dengan memperhatikan ketiga fungsi hutan
6. Memantapkan potensi manusia pada kelompok inti yang terlibat di dalam program rehabilitasi dan reboisasi serta perlindungan hutan melalui kelembagaan formal maupun non formal yang sudah terbentuk di desa , melalui pelatihan interaktif dan komprehensif
7. Merumuskan dengan melibatkan peran serta wanita tentang draft pengelolaan rehabilitasi dan reboisasi serta perlindungan hutan yang menunjang pembangunan secara berkelanjutan di Indonesia
8. Mengkaji proses perencanaan serta manajemen konservasi hutan dan merumuskan jalan keluar jika ditemui permasalahan
9. Melakukan kegiatan rehabilitasi, reboisasi, dan perlindungan hutan secara seimbang di berbagai ekosistem
2.2. Program :
PEMANTAPAN DAN PEMBUATAN: PERATURAN, KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN SECARA BERKELANJUTAN BERBASIS PARTISIPASI DAN KEARIFAN MASYARAKAT LOKAL
2.2.1. Dasar Pertimbangan
Konflik antara kawasan lindung dengan masyarakat setempat seringkali muncul. Pada masa lalu cagar alam dan taman nasional ditetapkan dengan menghilangkan akses masyarakat setempat terhadap hutan. Hal ini menyebabkan terjadinya perambahan yang mengarah pada kerusakan hutan. Undang-undang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem tahun 1990 berisikan upaya untuk mengatasi hal ini melalui penetapan daerah penyangga di kawasan lindung sehinga pemungutan hasil hutan dapat pula dilakukan oleh masyarakat. Daerah penyangga dapat dimanfa’atkanuntuk tujuan produksi oleh masyarakat melalui kegiatan perkebunan atau pertanian, misalnya dengan sistem agroforestry, wanawisata untuk mencegah terjadinya gangguan di kawasan lindung. Anggapan umum bahwa koservasi merupakan penghalang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta pemerataan kesejahteraan masyarakat setempat perlu dirubah secara perlahan-lahan sejalan dengan pemanfaatan keaneka ragaman hayati, misal: untuk obat-obatan, minyak atsiri, pewarna,damar, tegakan benih, tanaman hias, arboretum dan lebah madu, penakaran satwa liar serta wanawisata. Peran serta masyarakat lokal dapat pula dilaksanakan pada kawasan hutan produksi, dengan sistem pembagian pendapatan yang adil.
Salah satu hal penting yang mendukung pengelolaan hutan secara berkelanjutan adalah mantapnya aturan dan mantapnya kelembagaan berbasis partisipasi dan kearifan masyarakat lokal mengingat aspek sosial budaya menjadi faktor yang harus diperhatikan.
Mantapnya aturan antara lain ditandai dengan adanya kejelasan tentang aturan yang tersedia (tidak ada tumpang tindih aturan), dan mendukung keadilan perolehan bagi fihak-fihak yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Mantapnya kelembagaan antara lain ditandai dengan semakin kompaknya (persamaan persepsi dan meningkatnya kesadaran) komunitas pengelola di dalam mengujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan
2.2.2. Tujuan Program
1. Menghargai dan mempertahankan nilai ekologis, budaya dan ekonomis hutan untuk kehidupan masyarakat di dan sekitar hutan
2. Melaksanakan peran serta masyarakat secara penuh dan murni secara melembaga dalam memanfaatkan potensi hutan termasuk pembagian keuntungan yang seimbang
3. Meningkatkan ketrampilan dan organisasi kelembagaan masyarakat yang tinggal di hutan dalam pengelolaan dan rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, keaneka ragaman hayati dan pemasaran produk, serta memantapkan aturan dan budaya.
5 Menggalakkan kepedulian masyarakat akan fungsi dari kawasan pengangga (buffer zone)
6 Penataan tata ruang kawasan hutan sesuai dengan peruntukkannya (lindung, produksi kayu produksi non kayu, dan Konservasi)
2.2.3. Rencana Strategis
1. Meningkatkan peran masyarakat agar sadar tentang hutan pentingnya fungsi hutan kemasyarakatan
2. Mempertahankan dan meningkatkan peran serta masyarakat sekitar kawasan hutan dalam memanfaatkan hutan sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
3. Memulihkan dan mempertahankan fungsi sosial budaya hutan yang bertanggung jawab dan melembaga
4. Menetapkan kawasan penyangga.
5. Meningkatkan daya-manfaat hasil keaneka-ragaman hayati
2.2.4. Tahapan Kegiatan
1. Mengadakan pemetaan dan inventarisasi secara sistimatik terhadap kawasan hutan yang memungkinkan adanya peran serta masyarakat untuk mengelolanya
2. Menginformasikan hasil pemetaan secara tranparan, misal : area kawasan penyangga yang dapatnya masyarakat berperan serta
3. Mensosialisaikan teknik budidaya campuran dengan mendaya mafaatkan tegakan yang telah ada.
4. Mengenalkan teknik-teknik pengolahan hasil hutan skala mikro
5. Membangun kemitraan antara masyarakat dengan fihak pemerintah dan pengusaha
6. Meninjau peraturan dan program kehutanan yang ada, khususnya yang berhubungan dengan peran serta masyarakat di dalam hutan untuk tujuan mempersiapkan dasar bagi status hukum untuk hak dan sistem masyarakat atas sumberdaya
7. Memasukkan di dalam kurikulum tentang pengelolaan hutan secara berkelanjutan dengan teknik penyampaian sesuai dengan daya tangkap anak didik
8. Mendidik masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka terhadap pengelolaan hutan yang berkelanjutan
9. Mengadakan kampanye publik dengan melibatkan peran wanita tentang pentingnya menghargai hak dan gaya hidup tradisional dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan
10. Pengembangan diversifikasi hasil hutan yang tetap menjaga keseimbangan ketiga fungsi hutan
2.3. Program :
PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI SECARA BERKELANJUTAN
2.3.1. Dasar Pertimbangan
Kerusakan hutan di wilayah Indonesia khususnya hutan produksi sudah pada tahap yang memprihatinkan. Keadaan ini diperkirakan akan semakin meluas pada Tahun mendatang, jika tidak dilakukan perencanaan penebangan secara arif-bijak, menyeluruh dan terpadu oleh berbagai fihak terkait . Kayu yang dikelola berasal dari hutan jati dan beberapa jenis kayu yang lain, misalnya: senggon. Potensi hutan di Indonesia diharapkan sudah mulai dikelola secara terpadu berkelanjutan. Hal ini penting dalam rangka memasuki pangsa pasar di era globalisasi adalah “barang hijau”. Barang hijau ini dihasilkan dari pengelolaan hutan secara berkelanjutan, yang telah dievaluasi mutu tingkat keberlanjutannya.
2.3.2. Tujuan Program
1. Mendorong pengelolaan hutan yang efisien, terpadu, dan berkelanjutan, mencakup kayu dan non kayu berdasarkan daya dukung potensi dan melalui pengembangan indutri hutan skala rakyat kecil menengah yang hemat bahan dasar
2. Meningkatkan peran pemerintah dan masyarakat serta lembaga swadaya masyarakat dalam menetapkan pemanfaatan hasil hutan yang berkelanjutan dan hemat melalui perangkat ekonomi dan hukum
3. Mengembangkan kemitraan antara pengusaha, masyarakat dan pemerintah dalam menjamin produksi hutan yang berkelanjutan berdasarkan tanggung jawab serta pembagian keuntungan yang adil dan ketepatan sosial dan ekologi
2.3.3. Rencana Strategis
1. Menggeser pola pandang para stakeholder yang terlibat di dalam mengelola hutan yang semula fokus pada orientasi ekonomi menjadi hutan dipandang sebagai kesatuan yang utuh dan integral dari suatu ekosistem
2. Meningkatkan kemampuan para pengelola untuk mengelola hutan secara berkelanjutan
2.3.4. Tahapan Kegiatan
1. Menyelaraskan pemahaman, kriteria dan indikator mengenai pengelolaan hutan produksi secara berkelanjutan terutama diantara Pemerintah, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), LSM dan wakil-wakil masyarakat.
2. Mempromosikan konsep pengelolaan hutan yang seimbang baik sebagai sumber kesejahteraan masyarakat, lokal dan luar, maupun sebagai sumber devisa
3. Mengenalkan diversifikasi hasil hutan non-kayu berdasarkan: pemanfaatan berkelanjutan dan penelitian mengenai pengolahan serta daya dukung pasarnya, pengetahuan tradisionalnya dalam pemanfaatan dan konservasi setiap spesies plama nutfah.
4. Mengenalkan indikator produk-produk yang berekolabel kepada konsumen
5. Menginventarisir dan mensosialisasikan teknologi pengolahan hasil hutan yang efektif dan efisien antara lain teknologi hemat bahan dasar, teknik daur ulang khususnya untuk pulp dan kertas serta mebel.
6. Pelatihan para pelaksana tentang pengelolaan hutan secara berkelanjutan, metode pemasaran hasil-hasil hutan berekolabel
7. Mempromosikan mengurangi konsumsi hasil hutan dan mengajak konsumen untuk membeli produk-produk ekolabel
8. Pelaksanaan sanksi yang tegas bagi pelanggaran praktek pengelolaan hutan produksi secara berkelanjutan dan memberikan insentif bagi yang mematuhi guna meningkatkan tanggung sektor bisnis, masyarakat, dan pemerintah
9. Pengembangan diversifikasi hasil hutan yang tetap menjaga keseimbangan fungsi hutan secara ekologi, ekonomi, dan sosial budaya
10. Menerapkan ekolabel untuk pemasaran seluruh hasil hutan baik dalam bentuk kayu maupun non kayu yang efektif dan efisien pada tahun 2005
11. Pengembagan diversifikasi hasil hutan yang tetap menjaga keseimbangan ketiga fungsi hutan
12. Membuat Rencana Karya Lima Tahun (RKL) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) sesuai dengan kaidah-kaiodah pengelolaan hutan secara berkelanjutan
2.4. Program :
SISTEM INFORMASI DAN PENDATAAN PENGELOLAAN POTENSI HUTAN SECARA BERKELANJUTAN
2.4.1. Dasar Pertimbangan
Agar dapat tercapai tujuan kebijakan pembangunan kehutanan harus ditunjang oleh empat prinsip reformasi pembangunan kehutanan, yaitu: transparan, partisipatif, accountable, dan terintegrasi. Keempat syarat ini akan dapat operasional manakala di dukung oleh suatu sistem informasi yang akurat tentang data potensi hutan dan ini perlu disiapkan agar memudahkan bagi stakeholder yang relevan dan membantu dalam kontrol pelaksanaan dapat disajikan secara terbuka dan memudahkan di dalam proses evaluasi pada setiap tahapan kegiatan yang menyangkut pengelolaan hutan baik yang berupa panen hasil kayu maupun non kayu. Keterbukaan informasi akan memudahkan pula bagi fihak pendidikan untuk dapat mengakses informasi dan selanjutnya diteliti agar daya-manfa’at dapat lebih dapat dirasakan oleh khalayak banyak.
2.4.2. Tujuan Program
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat di dalam mengelola hutan
2. Meningkatkan daya manfa’at hutan dan kekayaan yang ada di dalamnya dengan memperhatikan kaidah-kaidah manajemen ekosistem
3. Membantu dan memudahkan menyediakan informasi yang akurat baik pada tahapan perencanaan, pemantauan dan evaluasi agar tidak terjadi distorsi pengelolaan hutan/ menyeimbangkan ketiga fungsi hutan
2.4.3. Rencana Strategis
1. Merumuskan konsep penyajian informasi yang komunikatif, akurat, dan sederhana
2. Mensosialisasikan model system informasi yang tepat kepada stakeholder yang relevan
3. Memantau pelaksanaan aplikasi sistem informasi yang dikembangkan
2.4.4. Tahapan Kegiatan
1. Menginventarisir macam informasi yang dibutuhkan informasi yang telah ada di Indonesia untuk pengelolaan hutan secara berkelanjutan baik informasi yang berisi data biofisik maupun yang menyangkut aturan serta kelembagaan ekonomi dan sosial, dan yang bersifat local, regional serta internasional
2. Mencari dan menerapkan model data base yang tepat/sesuai kebutuhan
3. Melakukan pemetaan kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi, termasuk pula kawasan penyangga, serta wilayah tradional dengan menggunakan metode yang lebih akurat misalnya dengan citra satelit dan foto udara
4. Mendiseminasikan dan melaksanakan hasil pemetaan sesuai dengan peruntukannya
5. Melaksanakan sosialisasi, misalnya melalui pelatihan tentang pemggunaan model informasi yang tepat.
6. Memantapkan kelembagaan sistem informasi secara terpadu.
2.5. KAWASAN INDUSTRI MASYARAKAT PERHUTANAN (KIMHUT)
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengembangan KIMHUT Sistem Empat Strata ini pada hakekatnya ditujukan untuk memanfaatkan seoptimal mungkin sumberdaya lahan kritis secara lestari berdasarkan keunggulan komparatifnya.
Pemilihan komoditi unggulan durian dengan komoditi penunjangnya didasarkan atas keunggulan wilayah dan peluang untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan manfaat ekologis bagi kesejahteraan masyarakat.
Beberapa hal yang melatar-belakangi pengembangan KIMHUT Sistem Empat Strata adalah:
1. Pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan lahan kritis melalui pengembangan KIMHUT Sistem Empat Strata terpadu
2. Antisipasi Krisis buah segar, akibat melimpahnya durian impor
3. Berbagai distorsi dalam Sistem Distribusi produk buah-buahan tropis:
– Lemahnya posisi tawar petani produsen durian menghadapi lembaga pemasaran pada berbagai tingkatan
– Produksi durian pada lahan subur mengalami tekanan berat dari komoditi lain
– Sistem kemitraan petani buah– LEMBAGA pemasaran “kurang adil”
– Biaya transportasi relatif tinggi
4. Produk KIMHUTmasih terbatas pada buah segar
5. Potensi benefit ekonomi yang sangat besar dari agribisnis dan sinergi dengan penerapan sistem usahatani konservasi
Berdasarkan kepada permasalahan di atas, maka kegiatan pengembangan KIMHUT Sistem Empat Strata diharapkan mampu memberdayakan ekonomi masyarakat pedesaan melalui KIMHUT Sistem Empat Strata Terpadu guna peningkatan daya saing produk domestik.
Secara rinci tujuan ini dapat diabstraksikan sbb:
1. Menginisiasi berkembangnya KIMHUT Sistem Empat Strata terpadu yang didukung oleh adanya techno-industrial cluster yang relevan
2. Pengembangan teknologi pengolahan diversivikasi produk agribisnis: Buah segar, berbagai bentuk olahan, produk tanaman sela semusim, produk tanaman pagar, pupuk organik, ternak dan pakan ternak
3. Pengembangan kelembagaan Koperasi pengelola KIMHUT Sistem Empat Strata terpadu
Performance agribisnis produk hutan rakyat dan sekitarnya pada saat sekarang dapat diabstraksikan berikut ini.
Lima faktor yang menjadi KEKUATAN bagi pengembangan KIMHUTadalah:
a. Ketersediaan lahan yang didukung oleh keunggulan komparatif kondisi agroekologi
b. Sifat unggul buah durian untuk pasar regional dan nasional
c. Ketersediaan SDM dan masyarakat untuk mendukung hutan-rakyat durian yang unggul
d. Sarana /prasarana dan kelembagaan penunjang yang komitmennya tinggi terhadap perhutanan durian dan industri pengolahannya
e. Potensi pasar yang sangat besar
Beberapa KELEMAHAN yang menonjol adalah:
a. Kesenjangan hasil-hasil penelitian dengan aplikasi secara komersial
b. Posisi “lembaga pemasaran” sangat dominan
c. Belum terbentuknya keterkaitan-kemitraan yang adil antar pelaku (cluster) hutan-rakyat durian & sistem distribusi durian
d. Produk yang dipasarkan masih terbatas pada buah segar.
e. Tingginya komponen biaya transportasi dalam struktur biaya produksi
Beberapa PELUANG yang dapat diidentifikasi adalah:
a. Pasar domestik (lokal, regional dan nasional) sangat terbuka
b. Diversifikasi produk-produk olahan durian sangat potensial
c. Kebutuhan pengembangan keterkaitan antara cluster produksi dan cluster distribusi dalam kelembagaan KIMHUTRA durian terpadu
d. Kebutuhan Pemberdayaan sistem kelembagaan produksi
Ancaman yang dianggap serius adalah:
a. Hambatan-hambatan sistem distribusi /perdagangan buah durian
b. Persaingan dengan produk impor buah durian
c. Persaingan dengan komoditi lain dalam penggunaan lahan
d. Hambatan-hambatan sistem industri pengolahan durian
Dampak yang dapat diharapkan adalah :
1. Berkembangnya KIMHUT Sistem Empat Strata terpadu dengan keterkaitan yang adil di antara cluster-cluster yang ada
2. Terbentuknya Koperasi pengelola KIMHUT Sistem Empat Strata yang mampu mengkoordinasikan sistem produksi dan sistem distribusi produk durian
3 Meningkatnya citra dan keunggulan produk durian domestik
4 Sinergi antar pelaku agribisnis/agroindustri dalam KIMHUT Sistem Empat Strata terpadu
5. Tumbuh-kembangnya semangat masyarakat untuk memproduksi durian
6. Tumbuh-kembangnya pasar produk-produk olahan durian
7. Tumbuhnya semangat untuk melestarikan sumberdaya lahan kritis
1.2. Tujuan
Pengembangan KIMHUT Sistem Empat Strata ini ditujukan untuk memberdayakan masyarakat dalam melakukan usaha ekonomi produktif dan sekaligus melestarikan sumberdaya hutan dan lahan kritis dengan memanfaatkan keunggulan komparatif wilayah.
Secara rinci tujuan dari program pengembangan KIMHUT Sistem Empat Strata ini adalah:
1. Pemberdayaan Kelompok tani Pengelola KIMHUT Sistem Empat Strata Terpadu
2. Pengembangan KIMHUT Sistem Empat Strata Terpadu dengan komponen utamanya:
a. Cluster KSP (Kawasan Sentra Produksi) Hutan Rakyat Durian Sistem Empat Strata (SES)
b. Cluster Industri Pengolahan buah durian
c. Cluster Industri Pupuk Organik Limbah industri pengolahan
d. Cluster POSYANTEK dan Sistem Informasi Pasar
e. Cluster KSP Ternak : Sapi atau Kambing kereman
f. Cluster Transportasi dan Pemasaran & Promosi
3. Kajian Keunggulan produk-produk hilir dan industri pengolahan durian
4. Sosialisasi dan Komersialisasi hasil-hasil kajian
5. Penrapan Gugus Kendali Mutu dalam sistem produksi Durian
1.3. Konsep KIMHUT Sistem Empat Strata
MANAJEMEN PENDANAAN DAN TEKNOLOGI
DANA INVESTASI
POSYANTEK Teknol Koperasi KIMHUTRA DURIAN
dana
Kebun KSP DURIAN
Teknologi & 100-500 ha
SIM-Pasar
Industri Pengolahan
DURIAN
Industri KSP TERNAK:
Pupuk Organik SAPI/ KAMBING
PENGOLAHAN LIMBAH
Industri Perdagangan
/ PEMASARAN
EXTERNAL MARKET
KETERKAITAN ANTAR CLUSTER DALAM KIMHUTRA DURIAN-SES
CLUSTER
ALSINTAN/SAPRODI
PRODUK
KSP INDUSTRI OLAHAN Cluster PASAR
DURIAN PENGOLAHAN pangan Regional
OLAHAN
– Pupuk
– Pestisida Bahan kimia LIMBAH
– Herbisida penolong INDUSTRI
LIMBAH Cluster
Cluster USAHATANI Pemasaran &
Agrokimia Transportasi
Pasar
Industri IndustrI PROMOSI Nasional
PETERNAKAN Pupuk Kemas &
& Pakan Organik Packaging
ternak
SISTEM PERBANKAN DAN ASURANSI
KSP DURIAN: HUTAN-RAKYAT SISTEM EMPAT STRATA
Strata I: Tanaman pagar, yaitu Mahoni, Pete, Sengon, Kaliandra, Lamtoro Gung, Glericidea
Strata II: Durian Sistem Empat Strata cebol / genjah jenis unggul
Jarak tanam 6- 8 x 6 – 8 m
Strata III: Penguat teras rumput gajah & FEED- CROPS
Tanaman sela jagung, kacang hijau, sayuran
hingga durian umur 5-10 tahun
STRATA IV:
SISTEM PENGGEMUKAN TERNAK: UNIT PENGOLAH
KAMBING / SAPI KEREMAN LIMBAH
Sistem KIMHUT Sistem Empat Strata: Organisasi Produsen Primer
FORKA Investor
Durian SES Pemerintah
Konsultasi/investasi/Perkreditan
kredit
dengan Suasta/
( PTL dan PPL) sistem perwakilan ASOSIASI
Tokoh/PEMUKA bagi hasil Pedagang buah
Agama/ Produsen Saprodi
Masyarakat
kerjasama
Pemasaran
SLADUR Modal hasil buah
usaha & SAPRODI
KOPERASI KIMHUTRA Durian SES
KUBA Durian S E S
25-30 RTP
KSP DURIAN: HUTAN RAKYAT SES
Sistem Pemberdayaan KIMHUT Sistem Empat Strata
FORKA
Durian S E S
BPTP
PL / PPL/LSM POSYANTEK
Tokoh masyarakat AGRIBISNIS
DURIAN
Koperasi Suasta /
KIMHUT SES Lembaga
pemasaran
KUBA durian KUBA durian …………..
25-30 RTP 25-30 RTP ………
KUBA INDUSTRI PENGOLAHAN
SHOW-ROOM / PUSAT PAMER/ PUSAT PROMOSI
PRODUK DURIAN
1.4. Lingkup Kegiatan
1.4.1. Penetapan Lokasi dan Sasaran Jenis Usaha
Pemilihan lokasi didasarkan atas ketersediaan lahan kritis, kesesuaian lahan serta agroklimatnya BAGI DURIAN, kesiapan prasarana, ketersediaan tenaga kerja serta sumberdaya lain yang membentuk keunggulan lokasi. Pemilihan komoditas utama dan penunjang serta jenis usahanya didasarkan atas potensi menghasilkan keuntungan, potensi pemasarannya, kesiapan dan penerimaan masyarakat atas jenis usahatani yang akan dikembangkan, keselarasan dengan kebijakan pembangunan daerah, serta potensi untuk penerapan usahatani konservasi.
1.4.2. Penentuan Kegiatan yang Dilakukan
Penentuan kegiatan KIMHUT mempertimbangkan hasil-hasil analisis SWOT mengenai kondisi riil saat ini dan kondisi yang diinginkan, yang dirinci menurut komponen- komponen penting sistem agribisnis, yaitu target grup, ketersediaan dan kesesuaian lahan, dan prasarana nya, ketersediaan sarana produksi, kemampuan pengelolaan budidaya, penanganan pasca panen, pemasaran, dukungan prasarana dan kelembagaan.
1.4.3. Rincian Kegiatan Sinergis Lintas Sektoral
Kegiatannya antara lain meliputi hal-hal berikut ini.
(1). Pengembangan Budidaya: KIMHUT HUTAN RAKYAT
Pengembangan hutan milik masyarakat dengan komoditi utama durian dan tanaman komplementernya, diidentifikasi menurut volume fisik yang jelas. Garis besar kegiatannya meliputi persiapan lahan dan penyiapan petani, pelatihan agribisnis dan usahatani konservasi, penyediaan bibit, agroinput & alat pertanian, dan penyiapan kelembagaan pelaku agribisnis. Kegiatan teknis penunjang meliputi pembinaan teknis budidaya, cara memanen dan cara untuk mempertahankan kualitas produk, perlakuan pasca panen.
(2). Pembinaan Pasca Panen dan Pemasaran
Peningkatan ketrampilan teknis dalam penanganan pasca panen seperti cara memanen, mengumpulkan dan menyeleksi hasil panen serta peralatan yang diperlukan untuk mempertahankan kualitas hingga cara pengolahan produk untuk meningkatkan nilai tambah serta meningkatkan kemampuan pemasaran. Untuk melaksanakan pembinaan dengan sarana yang tersedia di wilayah secara lebih optimal maka kerjasama dengan instansi per industrian dan perdagangan setempat harus dilakukan.
(3). Pengembangan Usaha Agribisnis
Cluster yang menyangkut pengelolaan usaha dan melaksanakan kemitraan dengan pedagang, dan industri pengolahan durian diberdayakan melalui pembinaan Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA) ke arah terbentuknya koperasi petani durian, pembentukan Forum Komunikasi Agribisnis (FORKA), pelaksanaan temu-temu usaha, pelatihan kewirausahaan, dan peningkatan kemampuan BIPP (Balai Penyuluhan) sebagai SLADUR (Sekolah Lapangan Durian) dan pusat konsultasi dan pelayanan agribisnis durian.
(4). Kegiatan Penunjang
a. Pelayanan Sarana Produksi
b. Pelayanan Informasi Teknologi Spesifik Lokasi
c. Pelayanan Pembibitan
d. Pengairan
e. Transportasi
f. Sarana dan Prasarana Pemasaran
3. SASARAN KIMHUT
Tujuan dari pengembangan KIMHUT Sistem Empat Strata ini adalah peningkatan pendapatan petani durian di HPKM-Malang Selatan yang direncanakan menjadi sentra produksi komoditas durian. Tujuan lainnya adalah meningkatkan kegiatan perekonomian pedesaan di sekitar sentra produksi durian tersebut yang pada akhirnya diharapkan membawa perbaikan pada taraf hidup masyarakat sekitarnya.
Sasaran pokok atau target yang ingin dicapai untuk menjadikan sentra pengembangan agribis komoditas adalah :
1. Pengembangan atau pembangunan hutan masyarakat dengan total areal sekitar 500 ha (Sekala model 10 ha).
2. Penumbuhan dan peningkatan peran kelembagaan dalam pembangunan pertanian meliputi : Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA) durian, Koperasi Petani KIMHUT Sistem Empat Strata, perusahaan/swasta, BIPP, SLADUR dan FORKA (Forum Komunikasi Agribisnis).
3. Pembangunan perluasan dan perbaikan sarana dan prasarana di lima wilayah kecamatan, khususnya pada lokasi-lokasi dimana sentra agribisnis komoditas durian akan dibangun. Sarana prasarana tersebut meliputi antara lain : sistem pengairan dengan sumur gali, jalan desa/jalan hutan, energi listrik pedesaan, pasar desa dan pusat informasi agro-teknologi.
4. Perbaikan dan peningkatan fasilitas penanganan pasca panen buah dan sistem pemasaran tradisional.
4. Pengembangan Komoditas
4.1. Pembangunan Hutan Durian Sistem Empat Strata
Bangkok dan Bajul ditetapkan sebagai kultivar durian yang akan ditanam pada UTPP kawasan Agribisnis (KIMHUT) Durian Sistem Empat Strata.
Target pembangunan hutan durian/sentra produksi durian di wilayah ini adalah seluas 500 Ha kawasan inti (penghijauan hutan rakyat); seluas 1000 ha daerah dampak, akan dilaksanakan secara bertahap berkesinambungan dalam waktu beberapa tahun.
4.2. Agroteknologi Hutan-Rakyat Durian Sistem Empat Strata
Lima hal yang masih dipandang sangat penting untuk menunjang pengembangan KIMHUTRA durian, adalah : (1). Inovasi teknologi bibit dan pembibitan; (2). Teknologi off-season; (3). Teknologi penghambatan pematangan buah durian; (4). Pengembangan SLADUR sebagai pusat informasi durian ; (5). Teknologi pengolahan buah durian.
Hutan RAKYAT Durian S E S: Setiap RTPLK = 0.5 ha hutan
Tanm pagar : Mahoni, Sengon, Pete, Kaliandra, Gleriside
6 -8 m
Phn durian
6-8 m
jalan hutan
tnm sela: Jagung, kac.hijau
arah slope PAH / sumur
batas lahan
4.3. Pola Pengembangan Sentra dan Demplot
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pada KIMHUT akan dikembangkan sentra produksi durian seluas 500 ha hutan rakyat inti. Sekitar 1.0 Ha dari hutan inti tersebut akan dikelola oleh Penyuluh Lapang (PL), merupakan hutan inti sekaligus berfungsi sebagai Demplot hutan durian. Sedangkan selebihnya merupakan tanaman durian yang dikelola petani durian.
4.4. Tanaman Sela, dan Tanaman Pagar /Pembatas
Pada areal KIMHUT di antara pohon durian muda yang ditanam dengan jarak 6-8 x 6-8 meter akan ditanam tanaman palawija jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, cabai/lombok atau ubikayu yang dapat dipanen setelah 3 – 4 bulan. Tujuan dari pemberian tanaman sela ini antara lain agar petani dapat memperoleh hasil/ pendapatan dari lahan usahataninya sebelum tanaman durian berproduksi. Salah satu dari kedua palawija tersebut akan ditanam secara bergilir hingga pohon durian mencapai usia 5 tahun. Sedangkan tanaman pagar/pembatas dapat berupa mahoni, pete, sengon, randu, melinjo atau pohon kayu-kayuan lainnya.
4.5. Kondisi Fisik
Setelah kurun waktu lima tahun, diharapkan tercipta sentra produksi durian milik petani dengan kondisi sebagai berikut :
a. Terdapat hutan durian monokultur populasi tanaman durian sebanyak 250 pohon per hektar dengan jarak tanam 6 x 6 meter.
b. Setiap petani berhasil mengelola 0.5-1 ha hutan durian atau 125 – 250 pohon produktif.
c. Kebun dilengkapi dengan jalan (jalan hutan) sepanjang 100 meter/Ha.
d. Terdapat sumur gali atau embung dua buah per/ha sebagai sumber air bersih.
5. Pemberdayaan Kelembagaan KIMHUT
Kelembagaan yang ingin diwujudkan kurun waktu tersebut di atas adalah sebagai berikut.
5.1. Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA)
Target penumbuhan kelompok tani sebagai lembaga inti pengembangan sentra KIMHUT dalam kurun waktu tersebut mencapai jumlah 50 KUBA. Target penumbuhan kelompok tani sebanyak 50 KUBA ini berdasarkan pertimbangan bahwa dalam skala/luasan 20 Ha hutan/pekarangan dapat dibentuk satu kelompok tani dan dapat bekerja secara efektif.
Satu KUBA durian terdiri dari 20-30 RTPLK dengan setiap orang diharapkan menguasai lahan tegalan rataan seluas 0.5 Ha. Dalam 1 Ha lahan akan ditanami durian sebanyak 250 pohon. Dengan demikian satu KUBA Durian Sistem Empat Strata mempunyai tanaman sebanyak 2500-3125 pohon durian.
Penumbuhan kelompok tani pada Sentra Agribisnis durian seyogyanya didasarkan pada kedekatan hamparan dengan maksud mempermudah menghadapi masa panen dan pemasaran hasil. Karena penumbuhan kelompok tani berdasarkan kedekatan hamparan usahataninya, maka melalui pelatihan-pelatihan (sekolah lapang) dan dengan bimbingan Petugas Penyuluh Lapangan (PL II) petani-petani yang tergabung dalam kelompok tani hamparan tersebut diharapkan mampu mandiri.
KIMHUT Sistem Empat Strata seluas 200 ha
RTPLK-2 RTPLK-400
RTPLK-1
0.5 ha tegalan
0.5 ha tegalan 125 phn durian 0.5 ha tegalan
125 ph durian tnm sela 125 ph durian
tnm sela tnm sela
PL
SLADUR 1.0 ha Tegalan
125 phn durian
tnm sela
KUBA-1 KUBA-2 KUBA-16
25 RTPLK 25 RTPLK ……. 25 RTPLK
12.5 ha hutan 12.5 ha hutan 12.5 ha hutan
3125 ph durian 3125 ph durian
KOPERASI PETANI Durian SES
Kebun Inti 200 ha, 50.000 pohon durian Klon UNGGUL
Tanaman sela jagung, kedelai, kac hijau 200 ha
SUASTA PASAR BRI/BPD
Industri Pedagang KKPA, KUT
pengolahan
durian
5.2. Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP)
BIPP merupakan pusat penyuluhan yang diharapkan mampu mengakomodasikan seluruh permasalahan di bidang penyuluhan khususnya pada komoditi durian. Fungsi dan peran BIPP ditingkatkan hingga menjadi Sekolah Lapangan Agribisnis Durian Sistem Empat Strata (SLADUR).
Sebagai lembaga kepanjangan Pemerintah yang berada dan terdekat dengan petani maka diharapkan SLADUR akan mampu menjadi pusat untuk :
– Meningkatkan kemampuan manajerial kelompok tani antaranya memantapkan/membudayakan usaha bersama antar petani dalam satu kelompok dan antar KUBA yang bergabung dalam satu wadah koperasi.
– Membina para kontak tani sebagai pengurus koperasi dalam kemampuan pengurus Koperasi mengelola usaha dalam hal perencanaan pengadaan saprodi yang dibutuhkan petani (anggota koperasi).
– Mendukung kebutuhan modal petani melalui menyediakan informasi fasilitas kredit yang layak.
– Mendukung tersebarnya informasi pasar harga dan permintaan kepada para petani sebagai jaminan petani memperoleh harga yang wajar bagi produknya.
– Mendukung peningkatan kerjasama/kemitraan antara petani dan pengusaha.
– Pusat disseminasi informasi teknologi spesifik lokasi dengan bermitra kerja dengan BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian-Malang).
– Pusat disseminasi informasi pasar dan pengembangan pasar.
– Menjalin kerjasama dengan Lembaga Keuangan (BRI Unit Desa) dan Koperasi untuk pelatihan penyusunan proposal pinjaman kredit usaha.
– Penyebaran informasi standard Pertanian Indonesia bagi produk durian.
6. Sarana dan Prasarana yang dibutuhkan
6.1. Pengairan
Ketersediaan air merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi pada saat proses produksi s/d proses pengolahan. Bantuan pembuatan sistem Pengairan Air Sumur (PAS) diharapkan dapat terlaksana, atau kalau tidak memungkinkan dapat dikembangkan sistem Pengairan Air Hujan melalui pembangunan kolam penampung air hujan (PAH). Idealnya, sebuah sumur / PAH harus terdapat pada setiap 1 ha hutan durian.
6.2. Jasa Angkutan dan Transportasi
Pembangunan sarana/prasarana angkutan kondisi jalan di sekitar sentra produksi durian maupun dari sentra produksi ke jalan Kabupaten menentukan kecepatan penyaluran saprodi dan pengangkutan/pemasaran hasil produksi. Kondisi jalan desa disekitar sentra produksi durian perlu ditingkatkan dari jalan tanah/makadam ke jalan aspal, sehingga mudah dilalui kendaraan roda empat walaupun pada musim hujan, yang lebih lanjut meningkatkan efisiensi pengangkutan hasil/saprodi. Dengan rencana pengembangan sentra produksi durian seluas 1000 Ha dan standard kebutuhan jalan hutan/jalan desa adalah 100 m/ha, maka dalam kurun waktu lima tahun dibutuhkan perbaikan/ pembangunan jalan kurang lebih sepanjang 100 km.
Dengan meningkatnya kondisi jalan di sekitar sentra, diharapkan akan meningkatkan frekwensi lalulintas angkutan umum termasuk angkutan barang disekitar sentra produksi durian yang pada akhirnya menumbuhkan dan meningkatkan kegiatan sektor sektor jasa yaitu jasa angkutan umum termasuk angkutan barang.
6.3. Pasar
Pasar yang ada untuk tingkat wilayah desa/kecamatan telah cukup memadai. Hal yang perlu ditingkatkan fasilitasnya adalah pasar di tingkat kabupaten. Untuk mengantisipasi melimpahnya durian yang akan dipasarkan dalam bentuk buah segar, maka pasar ditingkat kabupaten perlu dilengkapi fasilitas transportasi untuk mengangkut hasil produksi dari desa dan kecamatan.
6.4. Alsintan
Alsintan yang dibutuhkan dalam pengembangan sentra KIMHUTm adalah :
– Blower /sprayer sejumlah 1 buah/ Ha hutan
– Sumur gali atau PAH sebanyak 1-2 buah setiap hektar hutan
– Gerobak pengangkut di hutan.
7. Pengolahan dan Pemasaran
7.1. Pengolahan
Buah durian dapat dijual dalam bentuk buah segar atau hasil olahannya. Upaya pengolahan untuk mendapatkan buah segar berkualitas tinggi meliputi :
a. Pemeraman untuk menyeragamkan kematangan buah dengan bahan kimia.
b. Penghambatan proses pematangan buah dengan Cold Storage dan Kemasan.
c. Grading
d. Packing/pengemasan
e. Kalender panen tanda setelah panen sesuai dengan tanggal dipetik.
f. Buku harian pakan (untuk memonitor produksi pohon).
Bangkok merupakan jenis durian yang masih mempunyai prospek besar dijual sebagai buah segar. Namun demikian tetap perlu dilakukan antisipasi terjadinya fluktuasi harga atau turunnya harga durian segar pada saat booming produksi/supply durian. Pengolahan buah durian menjadi produk olahan dapat berupa :
– Manisan/asinan durian
– Kripik Durian Sistem Empat Strata
– Selai dan sirup
– Buah potong dalam kaleng atau juice durian
Industri selai dan sirup dapat dilakukan sebagai home Industri dan bahan bakunya cukup dipenuhi dari durian yang bukan kualitas nomor 1.
Untuk industri kripik, buah potong dalam kaleng atau juice durian diperlukan pengolahan skala besar, dengan kebutuhan bahan baku (buah durian) yang harus di supply secara kontinue. Paling sedikit dibutuhkan areal panen seluas 500 Ha untuk dapat memenuhi bahan baku durian bagi industri tersebut.
7.2. Pemasaran
Durian Sistem Empat Strata khususnya Bangkok, masih memiliki potensi yang cukup besar untuk dijual dalam bentuk buah segar. Alur pemasaran buah durian dalam kurun waktu lima tahun yang akan datang adalah seperti berikut.
Rantai/alur pemasaran A akan terus di tingkatkan dan dikembangkan, guna memperpendek rantai tata niaga dan sebagai hasilnya diharapkan meningkatkan market share petani lebih besar dari 45 % dari harga beli konsumen.
Rantai/alur pemasaran B adalah sistem pemasaran buah durian yang telah terbentuk sejak lama. Pada pemasaran dengan sistem ini, upaya yang diperlukan adalah memberikan/ meningkatkan kesadaran petani untuk mengurangi penjualan dengan sistem tebasan kontan atau ijon, guna meningkatkan market share petani dari harga beli konsumen.
8. RANCANGAN KEGIATAN
Untuk mewujudkan KIMHUT, maka berbagai kegiatan dalam seluruh subsistem-subsistem agribisnis termasuk subsistem penunjangnya perlu diprogramkan secara sistematis. Perwujudan Kawasan KIMHUT akan memerlukan waktu sekitar 5 sampai dengan 10 tahun, dimana 5 tahun adalah kebutuhan waktu untuk pembangunan hutan (penanaman) dan 5 tahun adalah kebutuhan waktu untuk pemberdayaan KUBA mandiri.
8.1. Pemantapan Kelembagaan
Kelembagaan yang harus ada di lokasi KIMHUTRA meliputi kelembagaan petani, kelembagaan ekonomi dan kelembagaan aparatur.
(1). Kelembagaan Pengelola KIMHUT Sistem Empat Strata
a. Setiap petani menjadi anggota KUBA Durian Sistem Empat Strata yang mengelola hutan-rakyat.
b. Setiap KUBA Durian Sistem Empat Strata tani beranggotakan 20 – 30 RTPLK.
c. Setiap petani menguasai sekitar 0.5 – 1.0 ha lahan untuk hutan-rakyat durian.
d. Setiap 15 KUBA Durian Sistem Empat Strata diberdayakan dan didampingi oleh 1 orang PL.
e. Setiap orang PL mengelola 0.5 – 1.0 ha hutan inti yang berfungsi sebagai hutan produksi, pusat informasi teknologi durian, yang dilengkapi dengan SAUNG (gubuk tempat pertemuan kelompok tani).
(2). Disain Inovasi Agro-Teknologi
Usaha pemeliharaan durian dengan sistem KUBA disarankan dengan perbaikan paket agroteknologi alternatif sebagai berikut :
1. Sistem perhutanan durian permanen dengan pemeliharaan tanaman secara intensif
2. Menggunakan bibit durian jenis unggul, misalnya Bangkok atau Bajul
3. Kebun monokultur lebih disarankan apabila memungkinkan.
4. Pengawasan kesehatan dan kesuburan tanaman dilakukan dengan menerapkan praktek budidaya tanaman secara intensif.
5. Recording buku harian individu tanaman durian dan pengawasan periode pembungaan dan pembuahan kalau memungkinkan.
6. Menerapkan teknologi penanganan pasca panen buah untuk menyeragamkan pematangan buah atau menangguhkan proses pematangan melalui manipulasi teknologi kemasan.
8.2. Kelayakan Disain KIMHUT Sistem Empat Strata
(1). Kelayakan Teknis
Hutan rakyat durian digunakan secara khusus untuk memproduksi buah-buah durian yang kualitasnya bagus; sedangkan pengelolaan hutan RAKYAT dapat mengikuti rekomendasi yang ada. Tanaman sela selama lima tahun pertama adalah kedelai atau jagung yang dikelola secara intensif.
(2). Kelayakan Ekonomi
Sekala ekonomi minimum bagi rumah tangga petani adalah 0.5-1.0 ha dengan jumlah pohon produktif 100-200 pohon.
Peningkatan produksi dan pendapatan usahatani durian mulai tahun ke V diharapkan telah cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara memadai (telah melampaui batas ambang kemiskinan); Fluktuasi pendapatan dan produksi hampir merata dari tahun ke tahun tahun. Penyerapan tenaga kerja memungkinkan mempekerjakan tenagakerja luar keluarga ; Secara ekonomi layak;
Beberapa faktor penunjang kelayakan ekonomi tersebut adalah :
a. Menambah sasaran produksi, yaitu grading buah-buah durian untuk pasar lokal, regional dan kota-kota besar.
b. Meningkatkan hasil buah durian secara bertahap setiap tahun hingga sasaran akhir tahun ke 10 dengan sekala usaha 50-100 pohon produktif setiap rumahtangga yang memiliki lahan kering 0.5 -1.0 ha.
c. Mengurangi fluktuasi produksi dan pendapatan dengan jalan disiplin usaha dan pemantauan/pemeliharaan tanaman produktif secara intensif.
d. Menciptakan adanya pola usaha bersama (KUBA) secara berkelompok dengan pangsa yang relatif sama.
(3). Kelayakan Sosial
Usaha pemeliharaan durian secara berkelompok telah lazim dilakukan dengan kerjasama yang serasi; dengan demikian proyek KIMHUT Sistem Empat Strata ini tidak akan menimbulkan konflik sosial dan mengganggu sistem kelompok yang telah serasi.
(4). Rekayasa Kelembagaan
1. Petani yang terikat pinjaman dengan pedagang/pelepas uang harus melunasi untuk melepaskan ikatan tersebut;
2. Respon terhadap inovasi teknologi masih harus ditingkatkan, karena keterbatasan akses individu petani terhadap sumber informasi inovasi, peluang- peluang bisnis dan informasi pasar yang ada;
3. Respon masyarakat umumnya rendah dan terkesan bahwa peran KUD dalam membantu pemasaran hasil buah serta penyediaan modal belum banyak dirasakan oleh masyarakat petani ;
4. Respon terhadap perkreditan formal rendah, hal ini disebab- kan pengalaman sebelumnya dimana penyaluran kredit kurang aspiratif, terlalu birokratif, bunga tinggi dan tidak sesuai dengan kebutuhan petani .
Berdasarkan atas beberapa kendala tersebut, maka strategi rekayasa kelembagaan yang perlu disarankan adalah sebagai berikut :
1. Menciptakan usaha berkelompok dari RTPLK yang memungkinkan berkongsi dengan pangsa yang relatif seimbang dalam bentuk KUBA;
2. Meningkatkan peran serta PTL, PPL, dan tokoh masyarakat dalam pembinaan KUBA durian;
3. Mengurangi secara bertahap ketergantungan petani pada pedagang/ lembaga pemasaran sehingga meningkatkan posisi tawar- menawar dalam pemasaran hasil ;
4. KUBA-KUBA durian perlu membentuk koperasi petani durian (Unit Usaha Otonom Agribisnis) yang berfungsi sebagai jembatan penghubung antara kelompoktani durian dengan dunia luar, baik dunia bisnis, birokrasi dan perbankan, maupun sumber inovasi teknologi
5. Memperkenalkan kredit yang ditempuh dengan sistem bagi hasil, serta mengatur sistem bagi hasil yang lebih seimbang dengan melibatkan lembaga antara , yaitu Koperasi petani durian.
(5). Pranata
Tugas dan tanggung masing-masing komponen organisasi yang diusulkan tersebut diuraikan sebagai berikut :
a. Investor Pemerintah:
– Menyediakan fasilitas kredit lunak dalam bentuk paket KIMHUTintensif untuk KUBA melalui koperasi petani durian;
– Menjalin kerjasama kemitraan dalam permodalan dengan koperasi petani dengan jalan menyediakan kemudahan-kemudahan birokrasi dan administrasi;
– Menjalin kerjasama konsultatif dengan Koperasi petani durian, khususnya dalam pelatihan manajemen permodalan bagi usaha agribisnis durian.
b. Suasta: Pedagang buah/Produsen Saprodi :
– Diharapkan bersedia sebagai mitra kerja Koperasi Petani Durian Sistem Empat Strata atau KUBA durian, dengan jalan menunjuk perwakilannya di desa ;
– Menjalin kerjasama kemitraan dengan jalan menyediakan informasi-informasi pasar dan transfer teknologi inovatif .
c. Petugas Penyuluhan/Teknis Lapangan (PPL/PTL) :
– Bertanggung jawab terhadap pelatihan dan penyuluhan untuk lebih meningkatkan akses petani kecil terhadap peluang-peluang ekonomi yang ada dan penguasaan teknologi;
– Menjalin kerjasama konsultatif dan kemitraan dengan instansi terkait dan tokoh masyarakat setempat dalam pelaksanaan transfer teknologi dan pembinaan pengelolaan usaha
d. Koperasi Petani Durian Sistem Empat Strata (Unit Usaha Otonom )
– Mengawasi, mengkoordinasikan dan membina pelaksanaan sistem usaha agribisnis yang dilakukan oleh KUBA durian ;
– Membantu KUBA dalam operasionalisasi kegiatan pembinaan KIMHUT;
– Membina mekanisme kerja pengembalian kredit sehingga dapat memenuhi aspirasi petani dan sumber kredit ;
– Menjalin kerjasama kemitraan dengan suasta pedagang telur dan produsen/pedagang SAPRODI ;
– Membina dan mengembangkan mekanisme tabungan sukarela dari para petani.
e. RTPLK Pemilik-pengelola Kebun rakyat Durian Sistem Empat Strata
– Melaksanakan usaha KIMHUTmelalui KUBA
– Menjalin kerjasama kemitraan dengan instansi/ investor melalui mekanisme “kerjasama yang saling menguntungkan”;
– Mengikuti pelatihan teknologi sebelum/selama operasio nalisasi kegiatan;
– Memasarkan hasil produksinya kepada lembaga pemasaran yang bermitra dengan KUBA
– Pengelolaan pemilikan alat produksi (jika kredit telah lunas), tetap berusaha secara kongsi di bawah pengawasan dan pembinaan KUBA dan Koperasi;
– Menjalin kerjasama dengan Koperasi KIMHUT Sistem Empat Strata melalui program tabungan bebas sebagai dana untuk perawatan alat-alat produksi.
2.6. KIMBUN: KAWASAN INDUSTRI MASYARAKAT PERKEBUNAN (KOPI RAKYAT)
1. PARADIGMA PEMBERDAYAAN USAHA BERSAMA BIDANG AGRIBISNIS Perkebunan rakyat
Paradigma pemberdayaan usaha agribisnis perkebunan ke depan adalah sistem agribisnis terintegrasi (hulu-hilir) dan berkelanjutan yang berada dalam lingkup pembangunan sumberdaya manusia dan pemberdayaan masyarakat.
Paradigma pembangunan seperti ini bertumpu pada kemampuan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraannya dengan bertumpu pada kemampuan sendiri dan atau kelompok. Pembangunan agribisnis modern merupakan langkah strategis mewujudkan pembangunan masyarakat dalam arti luas yang menempatkan pembangunan berorientasi pada manusia dan masyarakat.
Pembangunan usaha agribisnis perlu dirumuskan untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dan teknologi maju yang murah, sederhana, dan efektif disertai penataan dan pengembangan kelembagaan di pedesaan. Pembangunan dengan paradigma baru ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat yang akan menjadi pendorong pertumbuhan sektor non-pertanian. Keterkaitan sektor agribisnis dan non-pertanian di pedesaan akan semakin cepat terjadi apabila tersedia prasarana ekonomi yang mendukung kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan.
Pembangunan usaha agribisnis patut mengedepankan potensi kawasan dan kemampuan masyarakatnya. Keunggulan komparatif yang berupa sumberdaya alam perlu diiringi dengan peningkatan keunggulan kompetitif yang diwujudkan melalui penciptaan sumberdaya manusia dan masyarakat petani yang semakin profesional. Masyarakat petani, terutama masyarakat tani tertinggal sebagai sasaran pemberdayaan masyarakat, perlu terus dibina dan didampingi untuk dapat menjadi manusia petani yang semakin maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Sumberdaya alam dan manusia patut menjadi dasar bagi pengembangan usaha bersama agribisnis di masa depan.
Dengan demikian perlu dirumuskan suatu kebijaksanaan pemberdayaan usaha bersama di bidang agribisnis yang mengarah pada peningkatan kemampuan dan profesionalitas petani dan masyarakat pedesaan untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal dan lestari dengan memanfaatkan rekayasa teknologi tepat guna untuk meningkatkan produktivitas agribisnis, pendapatan petani, kesejahteraan masyarakat pedesaan serta menghapus kemiskinan.
Arah pemberdayaan usaha bersama agribisnis menurut paradigma baru ini dapat diwujudkan terutama melalui upaya pemihakan dan pemberdayaan kelompok masyarakat. Pemberdayaan masyarakat petani dilakukan sesuai dengan potensi, aspirasi, dan kebutuhannya.
Sejalan dengan arah pembangunan tersebut, peran pemerintah adalah mempertajam arah pembangunan untuk rakyat melalui penguatan kelembagaan pembangunan, baik kelembagaan masyarakat petani, kelembagaan Koperasi-UKM, maupun kelembagaan birokrasi. Penguatan kelembagaan pembangunan agribisnis dapat dilakukan melalui pembangunan partisipatif untuk mengembangkan kapasitas masyarakat, dan berkembangnya kemampuan aparat dalam menjalankan fungsi lembaga pemerintah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Prinsip pembangunan partisipatif ini adalah mengikutsertakan masyarakat secara aktif dalam setiap langkah pembangunan ekonomi, sedangkan pemerintah memberikan fasilitas dan pendampingan kepada masyarakat dalam melaksanakan program ekonomi-produktifnya. Penerapan prinsip pembangunan partisipatif perlu dipahami sebagai proses dan langkah pembangunan yang mengikut-sertakan masyarakat tani sejak dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengendalian, evaluasi, pelaporan, pemeliharaan, dan pelestarian hasilnya.
3. Identifikasi KELOMPOK MASYARAKAT PELAKU KEGIATAN
Paradigma pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat menegaskan pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat dalam menyelenggarakan pembangunan guna mengembangkan kemampuan masyarakat sendiri. Sehingga masyarakat setempat mempunyai hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri atas inisiatif sendiri dalam urusan rumah tangga daerahnya.
Sejalan dengan berlakunya desentralisasi, mekanisme penyaluran bantuan pembangunan yang semula direncanakan, dikelola dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, secara bertahap telah dialihkan kepada koordinasi pelaksanaannya oleh pemerintah daerah dan akhirnya dapat disalurkan langsung dan dikelola sendiri oleh masyarakat yang paling memerlukan termasuk kelompok masyarakat di pedesaan.
Pembangunan seyogianya dilaksanakan oleh masyarakat sendiri dan pemerintah sebagai FASILITATOR yang memperlancar pelaksanaan dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya. Jajaran pemerintahan di daerah, baik jajaran pemerintah daerah dan JAJARAN sektoral di daerah perlu membuat identifikasi kelompok sasaran pelaku kegiatan program di daerah masing-masing berdasarkan kondisi masyarakat, potensi sumberdaya, dan komoditas unggulannya secara akurat dan mutakhir.
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pemberdayaan masyarakat, maka peran kelompok masyarakat sangat diharapkan. Jajaran pemerintah daerah diharapkan dapat membantu menyiapkan masyarakat dalam memanfaatkan bantuan sebagai dana kegiatan sosial-ekonomi produktif. Penyiapan masyarakat dilakukan dalam wadah “koperasi masyarakat lokal, KOBISKOP” yang tumbuh berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Penyiapan masyarakat dalam wadah kelompok usaha bersama (Koperasi-UKM) diharapkan dapat tumbuh menjadi embrio lembaga pengelola dana pembangunan yang mampu merencanakan, melaksanakan, dan melestarikan kegiatan yang dilakukan sendiri oleh masyarakat.
Pada dasarnya kelompok masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan, yaitu
(1). Kelompok yang tidak/belum berorientasi pasar, dengan status pendapatan di bawah garis pendapatan minimal atau kelompok masyarakat tertinggal;
(2). Kelompok yang berada pada tahapan transisi, dengan status pendapatan mulai meningkat dari kondisi minimal dan mempunyai potensi pasar yang berkembang; dan
(3). Kelompok yang sudah berorientasi pasar, dengan status pendapatan di atas rata-rata dan mempunyai pasar potensial yang lebih maju.
Bagi kelompok pertama yang tidak mampu dan belum berorientasi pasar perlu secara khusus diperhatikan untuk mendapatkan bantuan dana bantuan yang bersifat hibah bergulir (revolving block grant) namun perlu disertai pedampingan intensif agar mampu mandiri. Secara umum block grant dapat digunakan dalam dua bentuk: yaitu, investasi sosial yang tidak langsung menghasilkan pendapatan, seperti sarana dan prasarana, termasuk teknologi sederhana ; dan investasi ekonomi yang meningkatkan pendapatan seperti dana bergulir sebagai modal kerja.
Sedangkan kelompok yang sudah mampu ke luar dari kondisi tertinggal dapat memperoleh bantuan dana semi-komersial.
4. KAWASAN INDUSTRI PERKEBUNAN KOPI MILIK MASYARAKAT (KIMBUN KOPI)
MANAJEMEN PENDANAAN DAN TEKNOLOGI
INVESTASI
BOT SYSTEM
LITBANG Teknol KOBISKOP pengelola KIMBUN KOPI
dana
Kebun KSP Kopi Rakyat
Teknologi & 200 – 500 ha
SIM-Pasar
Pabrik Pengolahan Kopi
(PPK)
Kelembagaan Industri
Kemitraan & Hasil Samping/
Pendampingan Komplemen
KETERKAITAN ANTAR CLUSTER DALAM KIMBUN KOPI
Cluster SAPROTAN
ALSINTAN
KSP PABRIK Kopi Cluster PASAR
Kopi KOPI olahan pangan/ Regional
Rakyat Olahan kopi
limbah
Kopi
– Pupuk
– Pestisida Bahan bahan Pakan Cluster
– Herbisida penolong hijauan ternak &
Pakan
Cluster
Cluster Pemasaran &
Agrokimia Transportasi
Pasar
Industri Industri Cluster Nasional
Makanan Pupuk Kemas &
radisional Organik, Packaging
Pakan ternak
SISTEM PERBANKAN DAN ASURANSI
LATAR BELAKANG:
1. Pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, melalui KIMBUN KOPI
2. Antisipasi KRISIS produk-produk KOPI, akibat melimpahnya kopi impor
3. Sistem Produksi dan Distribusi Kopi di Indonesia:
– Lemahnya posisi tawar petani kopi rakyat
– Industri pengolahan kopi sulit diakses oleh masyarakat kopi
– Produksi kopi mengalami tekanan berat dari komoditi lain
– Sistem kemitraan petani kopi – industri kopi “kurang adil”
– Biaya produksi relatif tinggi
4. Industri hilir masih terbatas pada produk-produk tertentu
TUJUAN:
Memberdayakan ekonomi masyarakat pedesaan melalui KIMBUN KOPI guna peningkatan daya saing dan kesejahteraan masyarakat:
1. Menginisiasi berkembangnya KIMBUN KOPI yang didukung oleh adanya techno-industrial cluster yang relevan
2. Pengembangan teknologi pengolahan diversivikasi produk kopi: Kopi biji kering, Kopi bubuk, pupuk organik limbah kopi, silage pakan ternak limbah kopi, aneka makanan tradisional dan lainnya
3. Pengembangan kelembagaan Koperasi Masyarakat pengelola KIMBUN KOPI
EVALUASI KONDISI PER-KOPI – AN
1. KEKUATAN
a. Ketersediaan bahan baku kopi yang didukung oleh keunggulan komparatif kondisi sumberdaya wilayah
b. Sifat unggul produk kopi bubuk untuk pasar regional dan nasional
c. Ketersediaan SDM dan masyarakat perkebunan kopi yang unggul
d. Sarana /prasarana dan kelembagaan penunjang yang komitmennya tinggi terhadap perkebunan kopi rakyat dan industri pengolahan kopi
e. Potensi pasar yang sangat besar
2. KELEMAHAN
a. Kesenjangan hasil litbang ke aplikasi komersial
b. Industri pengolahan bertindak juga sebagai “lembaga pemasaran”
c. Belum terbentuknya keterkaitan-kemitraan yang adil antar pelaku
(cluster) perkebunan kopi – industri pengolahan & distribusi produk
d. Produk hilir masih terbatas pada produk tertentu saja.
e. Tingginya biaya transportasi dalam struktur biaya produksi kopi
3. PELUANG
a. Pasar domestik (lokal, regional dan nasional) sangat terbuka
b. Diversifikasi produk perkebunan kopi – industri pengolahan kopi
sangat potensial
c. Kebutuhan pengembangan keterkaitan cluster kebun kopi dengan
cluster industri pengolahan kopi dalam kelembagaan KIMBUN KOPI
d. Kebutuhan Pemberdayaan sistem kelembagaan agribisnis kopi
5. ANCAMAN
a. Hambatan-hambatan sistem distribusi kopi domestik
b. Persaingan dengan produk kopi impor
c. Persaingan dengan komoditi non-kopi dalam penggunaan lahan
d. Hambatan-hambatan sistem industri pengolahan kopi yang ada.
PROGRAM PENGEMBANGAN
1. Pemberdayaan KOBISKOP Pengelola KIMBUN KOPI
2. Pengembangan KIMBUN KOPI dengan komponen utamanya:
a. Cluster KSP (Kawasan Sentra Produksi) Kopi Rakyat
b. Cluster Pabrik Pengolahan Kopi (PPK)
c. Cluster Industri Pupuk Organik dan Silages Pakan Ternak
d. Cluster Industri Aneka Makanan Tradisional
e. Cluster ALSINTAN & SAPROTAN
f. Cluster Agrokimia/ Bahan-bahan pendukung
g. Cluster LITBANG, Kebun Teknologi dan Informasi Pasar
h. Cluster Pengemasan dan Pengepakan
g. Cluster Transportasi dan Pemasaran
3. Kajian Keunggulan produk-produk hilir perkebunan kopi dan Pabrik Pengolahan Kopi
4. Sosialisasi dan Komersialisasi hasil-hasil kajian
5. Implementasi sistem Quality Assurance (QA)
OUTCOME
1. Berkembangnya KIMBUN KOPI dengan keterkaitan yang adil di antara cluster-cluster yang ada di dalamnya
2. Terbentuknya Koperasi Masyarakat pengelola KIMBUN KOPI yang mampu mengkoordinasikan sistem produksi dan sistem distribusi produk-produk kopi dan olahannya.
3. Berkembangnya Pabrik Pengolahan Kopi
4. Meningkatnya citra dan keunggulan produk-produk kopi domestik
DAMPAK
1. Sinergi kelembagaan dan industri dalam “CLUSTER”
2. Sinergi antar pelaku agribisnis dalam KIMBUN KOPI
3. Tumbuh-kembangnya semangat masyarakat untuk memproduksi kopi
4. Tumbuh-kembangnya pasar produk-produk olahan kopi
5. Tumbuhnya semangat untuk melestarikan sumberdaya lahan
5. POLA PEMBIAYAAN PENGEMBANGAN KIMBUN KOPI
Koperasi Agribisnis Kopi rakyat (KOBISKOP) dapat dijadikan sebagai wadah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan ALTERNATIF pola pengembangan sebagai berikut:
Pola I: Koperasi Pengelola KIMBUN KOPI
(KOBISKOP: Koperasi Agribisnis Kopi)
Masyarakat membentuk KOBISKOP, membangun kawasan sentra produksi (KSP) kebun kopi rakyat dan fasilitas Pabrik Pengolahan Kopi (PPK), serta mengembangkan sarana dan prasarana penunjangnya. Dalam proses pengembangan koperasi seperti ini masyarakat anggota dan pengurus koperasi dapat meminta bantuan pihak ke tiga (manajemen profesional) berdasarkan suatu KONTRAK PEKERJAAN (KP).
Biaya pembangunan KSP Kebun kopi rakyat, fasilitas industri pengolahan kopi, sarana dan prasarana agroindustri serta biaya KP, 100 persen bersumber dari dana/investasi masyarakat per ”kopi” an, yakni ANGGOTA dan PENGURUS KOPERASI.
KOBISKOP
ANGGOTA PENGURUS
DANA INVESTASI & MASYARAKAT
KIMBUN KOPI
KSP PPK
Kebun
Kopi-rakyat
Penunjang
Komplemen
Pola II: Patungan Koperasi dan Investor.
Pola ini merupakan modifikasi dari pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat), yaitu menghilangkan pembatas kelembagaan antara plasma dan inti. Dalam Pola II, sejak awal masyarakat membentuk KOBISKOP dan berpatungan dengan suasta sebagai satu unit usaha patungan KIMBUN KOPI . Dengan pola ini secara menyeluruh komposisi pemilikan saham antara KOBISKOP dan SUASTA dapat beragam sesuai kesepakatan, misalnya 65 persen : 35 persen.
6. PENGEMBANGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI (KSP) KEBUN KOPI RAKYAT
6.1. PENDAHULUAN
Sejalan dengan proses desentralisasi pembangunan yang di dalamnya terkandung tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah, maka kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan dengan Pendekatan pengembangan wilayah perlu terus ditingkatkan. Hal tersebut dimaksudkan agar pembangunari daerah dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif dalam pemanfaatan sumberdaya dan sumberdana pembangunan di daerah. Dalam rangka itu pengembangan kawasan-kawasan yarig strategis dan potensial yang salah satunya diidentifikasi sebagai kawasan sentra produksi perlu dilakukan secara intensif sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah dan kesejahtaraan masyarakat.
Dalam kaitan itu, pengembangan kawasan sentra produksi (KSP) merupakan upaya nyata agar pemerintah daerah mampu memadukan, menyerasikan dan mengkoordinasikan berbagai masukan (input) pembangunan baik berupa program sektoral, program pembangunan daerah maupun program-program khusus dengan upaya pembangunan yang telah disusun pemerintah daerah berdasarkan potensi dan kebutuhan nyata masyarakat.
Dengan keberhasilan pengelolaan pengembangan kawasan sentra produksi diharapkan dalam jangka panjang kemampuan pemerintah daerah dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan di wilayahnya akan semakin meningkat, terutama dalam hal peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan kinerja pembangunan ekonomi di daerah. Keberhasilan tersebut merupakan modal yang penting bagi pemerintah daerah dalam menterjemahkan, mengisi dan mengaplikasikan prinsip-prinsip otonomi daerah secara langsung, nyata dan bertanggung jawab sehingga penerapan otonomi daerah melalui Undang-Undang Otonomi Daerah akan memberikan dampak positif yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat secara luas.
6.2. Kawasan Sentra Produksi Kebun Kopi Rakyat
Sentra Produksi adalah suatu kawasan kebun kopi rakyat yang memiliki potensi dan memungkinkan memperoleh investasi pemerintah/ swasta/masyarakat, yang prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut serta menjadi sebaran pengembangan kegiatan produksi , jasa dan permukiman, prasarana wilayah pendukung dan prasarana wilayah pengembangannya.
6.2.1 Kriteria dan Cakupan Kawasan
Kawasan Sentra Kebun Kopi-rakyat yang akan dikembangkan meliputi kriteria:
a. Kawasan yang telah berfungsi sebagai sentra produksi kopi milik masyarakat yang sudah berpengalaman melaksanakan usahatani kopi.
b Merupakan lokasi/kawasan yang pernah memperoleh bantuan program pembangunan, yang hasilnya dapat dioptimalkan untuk pengembangan produksi kopi dalam jangka pendek.
c. Lingkup lokasi / kawasan mencakup daerah Kecamatan dan/atau antar Kecamatan.
d. Lokasi kawasan potensial dan strategis untuk dikembangkan sebagai KSP kopi dan pernah memperoleh berbagai program pembangunan dari sektor selama ini.
Besar kecilnya Kawasan Sentra Produksi tidak terlepas dari pada faktor potensi dan fungsi kawasan jarak geografis. Adanya perbedaan jarak yang panjang memungkinkan perlunya pemisahan kawasan, sedangkan jarak terpendek antar kawasan potensial cenderung membentuk satu kesatuan Kawasan Sentra Produksi.
Dalam kaitannya antara batas administratif dengan faktor jarak geografis terhadap kemungkinan terbentuknya kawasan, ada kemungkinan ditemukannya pemisahan dari suatu wilayah kecamatan dan masuk membentuk kawasan baru di suatu wilayah kecamatan lain. Kemungkinan ini dapat saja terjadi di seluruh wilayah kabupaten, terutama wilayah-wilayah yang berbatasan langsung secara fisik. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.
6.2.2. Kriteria dan Lingkup Kegiatan
a. Kriteria Kegiatan Rencana Tindak
Kriteria kegiatan implementasi dari rencana tindak adalah
1) Peningkatan produksi kopi dan pengolahan kopi yang berorientasi quick yielding (cepat menghasilkan).
2) Moderriisasi usaha pengembangan produksi kopi dan pemasaran kopi ke arah sistem agrobisnis dan agroindustri modern.
3) Pengembangan kawasan sentra produksi kopi dapat bersifat multi years yang melibatkan senegap potensi masyarakat dan sumberdaya wilayah.
Wilayah makro
KSP Kebun Kopi rakyat
DEVELOPMENT
AREA PPK
MARKET
AREA I
OUTLET
(Pelabuhan / Pasar)
Ekspor ke luar daerah
(MARKET AREA ll)
b. Lingkup Kegiatan
1) Identifikasi dan pemilihan KSP prioritas untuk kopi rakyat.
2) Penyusunan Rencana Tindak (action plan) bagi KSP yang telah memiliki rencana induk serta implementasi rencana tindak tersebut.
3) Penyusunan Rencana Induk (master plan) KSP dan Rencana Tindak (action plan) bagi KSP terpilih lainnya untuk diimplementasikan pada tahun mendatang.
4) Implementasi Rencana Tindak dengan kriteria kegiatan yang dimaksud pada butir (a), mencakup kegiatan-kegiatan pengembangan KSP yang berkaitan dengan :
a) Peningkatan produktivitas dan nilai tambah produksi kopi dan kopi yang dapat dilakukan melalui pengembangan kelembagaan peningkatan produksi kopi rakyat dan pengembangan kegiatan industri kopi mini.
b) Peningkatan pemasaran hasil-hasil produksi (kopi pasir dan hasil-hasil sampingannya) melalui pengembangan kelembagaan pemasaran, sistem informasi dan jaringan kerja pemasaran dengan dunia usaha, dan dlikungan sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
c) Pemanfaatan hasil-hasil pembangunan sektoral, pembangunan daerah, dan program-program khusus pemberdayaani ekonomi masyarakat yang telah ada secara optimal dalam rangka mendukung efisiensi dan efektivitas pengembangan KSP kopi rakyat.
d) Pengerhbangan kegiatan-kegiatan promosi dan publikasi master plan KSP kopi rakyat agar tercipta keterkaitan dan keterlibatan dunia usaha / usaha swasta yang dapat mendukung perekonomian rakyat.
C. Lingkup Materi
Ruang lingkup materi pengembangan KSP kopi rakyat adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan pengembangan tata ruang yang berkaitan dengan struktur pengembangan wilayah dan pengembangan sektoral yang mendukung pengembangan KIMBUN KOPI .
2. Identifikasi sistem produksi pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, industri/kerajinan dan perdagangan.
3. Kondisi kawasan dan kecenderungan perkembangannya, dapat diidentifikasi potensi yang meliputi a.l.:
a. Potensi yang terkandung, baik yang sudah dimanfaatkan, belum dimanfaatkan dan diperkirakan ada, termasuk di dalamnya identifikasi komoditas unggulan kopi rakyat dan komoditi penunjangnya.
b. Prospek dan kemungkinan pengembangan komoditas kopi rakyat di masa mendatang, baik menyangkut produksi dan peningkatan nilai tambah maupun pemasarannya. Karena peluang di masa mendatang menghadapi era globalisasi, paling tidak dapat mengantisipasi kemampuan daya saing produksi, pemasaran dan pangsa pasar yang dapat diraih.
4. Penyusunan Skenario Pengembangan Kawasan yang ditempuh melalui skala prioritas pemanfaatan ruang dan skala priontas kegiatan pengembangan komoditas kopi rakyat. Skenario pengembangan berisi pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang, yaitu pengembangan komoditas tanaman pangan dan kopi rakyat serta sistem prasarana penunjangnya dan merupakan acuan pengembangan kawasan.
5. Perumusan program pengembangan sektor, komoditas unggulan kopi rakyat dan sistem prasarana. Rumusan program pengembangan berisi program-program pengembangan sektor, komoditas dan sistem sarana dan prasarana pertanian tanaman pangan dan kopi rakyat. Program-program dirumuskan dalam mendukung pencapaian skenario-skenario tersebut.
6. Perumusan program-program pengembangan yang terpilih. program ini merupakan interaktif antara kondisi, kemampuan pembiayaan dan kelembagaan dengan pengembangan kawasan serta kebutuhan sarana dan prasarana pendukungnya, di mana proses ini dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga menghasilkan suatu tatanan program yang terarah.
7. Perumusan peningkatan pemasaran hasil produksi. Sebagai upaya untuk menarik minat dunia usaha dan dapat melakukan investasi di kawasan sentra produksi, informasi mengenai peluang pengem-bangannya perlu disebarluaskan.
7. PEMBERDAYAAN KOPERASI KOPI RAKYAT (KOBISKOP)
SEBAGAI PENGELOLA KAWASAN INDUSTRI KOPI MINI MILIK MASYARAKAT (KIMBUN KOPI )
7.1. PENDAHULUAN
Menghadapi milenium ke tiga, bangsa Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa kondisi ekonomi sebagian besar anggota masyarakat masih sangat memprihatinkan. Sementara itu tantangan terbesar yang juga harus diantisipasi adalah kesiapan masyarakat dalam memasuki era perdagangan bebas dan globalisasi. Terjadinya krisis dan kelangkaan bahan kebutuhan pokok, seperti beras, kopi , minyak dan lainnya, merupakan salah satu wujud dari dampak perdagangan bebas yang sekaligus menjadi indikasi kekurang-siapan masyarakat dalam menghadapinya.
Krisis “komoditas kopi” beberapa waktu yang lalu dapat berdampak pada gairah petani / masyarakat untuk memproduksi kopi, sehingga pendapatan riil masyarakat menurun dan pada akhirnya juga akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang menurun. Akibat lanjutannya adalah banyak tenaga kerja pedesaan yang kehilangan kesempatan kerja, yang apabila dibiarkan akan memunculkan kerawanan sosial.
Salah satu potensi masyarakat yang belum secara optimal didaya-gunakan adalah lembaga-lembaga sosial-tradisional yang telah mengakar di masyarakat, seperti Koperasi Primer Kopi Rakyat (KOBISKOP) di wilayah sentra produksi kopi, yang didukung oleh Pusat Koperasi Kopi Rakyat di Dati II dan Propinsi, Serta Induk Koperasi kopi Rakyat di tingkat Nasional.
Pada saat ini terdapat banyak KOBISKOP dengan berbagai sekala usaha dan tingkat perkembangan yang berbeda-beda. Beberapa perihal penting yang dihadapi KOBISKOP saat ini adalah sebagai berikut :
a. Masih adanya kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya memihak kepada kepentingan koperasi kopi rakyat dan petani kopi rakyat. Hal ini mengakibatkan lemahnya “bargaining power” koperasi dalam bertransaksi dengan Pabrik Kopi.
b. Masih terlalu banyaknya kebijakan pemerintah yang ikut mengendalikan “agribisnis kopi rakyat” sehingga mengakibatkan berbagai bentuk distorsi yang merugikan petani kopi
c. Lemahnya dukungan permodalan dari lembaga keuangan formal / sistem per-bankan kepada KOBISKOP
d. Masih adanya kebijakan distribusi/ tata niaga kopi yang berdampak negatif kepada petani kopi.
Oleh karena itu, lembaga KOBISKOP milik masyarakat ini perlu segera lebih diberdayakan dengan pertimbangan rasional sebagai berikut:
1. Lembaga KOBISKOP (dengan segala fasilitasnya) yang sudah tersebar di sentra produksi merupakan infrastruktur yang sudah tersedia sebagai sarana dalam rangka mengembangkan aspek sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Sehingga pemerintah tidak memerlukan program dan biaya untuk membangun sarana fisik yang baru dalam upaya mengatasi krisis kopi.
2. Sebagian besar penduduk pedesaan sentra produksi kopi Kabupaten Malang merupakan kelompok-kelompok tani produktif dengan basis pertanian kopi rakyat sebagai usahanya. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memiliki kepentingan ekonomi yang sama dan pada umumnya telah membina rasa kebersamaan untuk mengatasi masalah mereka. Sehingga dengan pilihan program-program terobosan yang tepat sasaran dan tepat guna dapat mempercepat gerak roda perekonomiam di tingkat bawah (grass-roots).
3. Dengan pilihan program pemberdayaan yang tepat, fungsi KOBISKOP dapat ditingkatkan dari sebatas “simpan pinjam” menjadi pusat kegiatan perekonomian (center of economic activities) masyarakat di sekitarnya. Peningkatan peranan ini sekaligus membuka peluang bagi para tenaga terampil terdidik (ex tenaga kerja yang PHK) untuk diperan-sertakan dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Dengan demikian, tenaga terampil terdidik diberdayakan untuk berperan dalam pengembagan kewira-usahaan dan kegiatan-kegiatan agribisnis kopi rakyat bersama masyarakat.
4. Pada sebagian KOBISKOP juga telah tumbuh dan berkembang unit usaha WASERDA yang melayani saprodi dan kebutuhan bahan pokok masyarakat. Selain itu juga telah berkembang unit usaha “Lembaga Keuangan” khusus bagi kelompok petani kopi. Sebagai lembaga keuangan alternatif keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan, terutama untuk memerangi praktek para rentenir.
5. Sejalan dengan upaya Pemerintah untuk membangun sistem produksi kopi dan jaringan distribusi kopi dalam rangka menghindari kelangkaan akibat ulah para spekulan menimbun barang, maka keberadaan KOBISKOP dapat diberdayakan sebagai pengelola KIMBUN KOPI .
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, maka dipandang sangat urgen dan relevan untuk diupayakan Program “Pemberdayaan KOBISKOP sebagai Lembaga Ekonomi Rakyat yang Mengakar dan Mandiri, serta layak mengelola KIMBUN KOPI ”.
Program seperti ini merupakan salah satu bentuk investasi masyarakat yang berkelanjutan melalui POLA MODAL KOBISKOP diharapkan dapat menimbulkan efek rambatan pada tumbuh dan berkembangnya kegiatan ekonomi rakyat sesuai dengan potensi ekonomis di wilayah sekitarnya.
Sasaran pemberdayaan selanjutnya adalah agar dapat memperluas dan meningkatkan nilai tambah (value added) dan kesempatan kerja (employment generation) di berbagai sektor riil lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan agribisnis kopi rakyat.
7.2. TUJUAN DAN PRINSIP
7.2.1. Tujuan
a. Jangka Pendek
(1). Ikut menggerakkan roda perekonomian rakyat pada tingkat akar rumput (grass – roots)
(2). Memberdayakan KOBISKOP di wilayah sentra produksi kopi rakyat Kabupaten Malang dengan dukungan investasi sosial-masyarakat untuk menerapkan MODEL TIGA RODA (Unit usaha KSP kopi rakyat, Unit usaha PGM, dan Unit usaha Jasa-jasa penunjang) untuk mempermudah akses terhadap peluang-peluang bisnis perkopian dan perkopian.
(3). Memberdayakan KOBISKOP dengan dukungan Kredit Semi-Komersial guna membantu memperlancar Produksi dan distribusi kopi dan ikut melindungi kepentingan petani kopi dan masyarakat luas,
(4). Mengembangkan mekanisme kemitraan yang “adil” di antara CLUSTER yang terkait dalam KIMBUN KOPI .
b. Jangka panjang
(1). Ikut membangun sistem produksi dan jaringan distribusi kopi nasional yang lebih adil, komplementer dengan Industri Kopi yang ada
(2). Meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat melalui pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga tradisional yang telah mengakar, terutama yang terkait dengan KOBISKOP yang telah ada.
(3). Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan berusaha yang dapat diakses langsung oleh masyarakat pedesaan.
7.2.2. Kelompok sasaran
a. Kelembagaan KOBISKOP, dan lembaga sosial-ekonomi tradisioanl di pedesaan yang berkaitan dengna agribisnis kopi
b. Warung pengecer bahan pokok, baik milik perorangan, kelompok (pra koperasi), maupun waserda milik koperasi untuk diberdayakan / dikembangkan usahanya yang berkaitan dengan agribisnis kopi rakyat dan distribusi kopi.
d. Pengusaha dan Pedagang, baik perorangan maupun kelompok, terutama yang bergerak di bidang agribisnis kopi dan distribusi kopi untuk diberdayakan sehingga pada gilirannya dapat membantu memperlancar sistem produksi dan distribusi kopi.
e. Tenaga Kerja Terampil (yang nganggur musiman) untuk dilatih dan ditempatkan sebagai pendamping dan atau tenaga profesional / pengelola lembaga keuangan koperasi, industri kopi mini atau lembaga pemasaran kopi.
7.2.3. Prinsip-prinsip pemberdayaan
a. Pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development) terutama pada tingkat “akar rumput” (grass roots)
b. Keberlanjutan (sustainability) dalam mendukung PDRB dan PAD
c. Peran serta aktif masyarakat (participatory process).
d. Komitmen penuh pemerintah dengan keterlibatan minimal (fully committed, but less involvement).
7.2.4. Prinsip-prinsip pendanaan
a. Efisiensi, efektivitas (cost effectiveness), transparansi, dan accountability.
b. Block grant langsung kepada kelompok tani / kelembagaan yang betul-betul memerlukan (intended beneficiaries).
c. Sebagian besar berupa modal kerja bagi KOBISKOP yang diteruskan kepada POKTANI sebagai kredit dengan pendampingan (supervised credit).
d. Kredit Semi komersial untuk membeli kopi dari PGM dan untuk mendukung kegiatan pelelangan kopi dan/atau pendistribusian kopi mini.